Kumemandangmu dalam berlaksa keagungan di semesta malam. Engkaulah, satu dari taburan yang teruntai di kejauhan galaksi. Kusapa engkau dalam kekaguman tak terhenti.
Engkaupun tersenyum sembari mengedipkan matamu nan lentik. Binar sinarmu memancar pesona tiada tara.
“Kemarilah!”katamu.”Aku akan menjamu dengan seribu warna yang belum pernah engkau lihat sebelumnya…”
“Sungguh, andai kumampu…”seruku pilu. “Aku tak mempunyai energi eksitasi tuk meloncat dari dimensi Bumi.”
Dan wajahmu mendadak suram. Senyummu perlahan pudar.
“Jangan bersedih. Aku sudah bahagia bisa melihatmu dari sini!”hiburku.
Tak berapa lama, wajahmu perlahan menghilang. Bersama pagi yang datang menyapa mata ini. Kucari-cari engkau. Di antara sapa embun nan lembut yang menyambutku. Kusibak berlembar-lembar awan sepanjang siang. Namun tak jua kudapati hadirmu di sana.
Barulah ketika petang mengumandangkan malam, wajahmu terlihat lagi. Engkau tersenyum menyapa diri ini.
“Sungguh, senang bisa menjumpaimu lagi!”seruku riang.
“Benarkah?!”katamu menggoda.
“Pertemuan ini telah memuaskan dahaga kerinduanku!”kataku. “Sepanjang hari ku mencari arah pergimu…”
“Aku tak kemana-mana,”katamu lagi. “Aku selalu di sini. Melihatmu dari persemayamanku.”
“Benarkah?”tanyaku. “Lantas mengapa sedari pagi aku tak bisa melihatmu?”
“Cahaya surya menyilaukan pandangmu,”jelasmu. “Di hadapannya aku hanyalah lentera mungil yang tiada berarti . Hingga hadirku serasa tak bermakna.
“Adalah hal yang wajar,”katamu,”karena sapa sang Surya bisa engkau rasakan kehangatan dekapannya. Sedangkan aku...”
Engkau tak meneruskan ucapanmu. Wajahmu kini murung. Namun hanya sebentar. Sesaat kemudian engkau berkata dengan tersenyum.
“Ketahuilah, aku juga bisa melakukan hal yang sama. Sebagaimana sang Surya…”katamu riang.
“Benarkah?!”tanyaku.
Engkau mulai bersenandung. Menggerakkan wajahmu, masih dengan seuntai senyum. Dan seolah kulihat engkau mulai menari. Bergerak ke kanan dan kiri. Sungguh gemulai…
Kurasakan hadirmu yang kian dekat padaku. Sekelilingku terasa benderang. Kehangatan kini membalut seluruh tubuh. Terlihat sepintas rona-rona warna cemerlang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Hanya sepintas, lalu gelap menghinggapiku.
Engkau yang berjuluk wanita cantik penuh keanggunan, menawan hatiku di buai pesonamu. Hingga setiap lepas pandang yang melesat adalah detail indah dari sketsa hati dan Membawa rasa ini dalam setiap malam, untuk hati yang kini telah kehilangkan kesucianya seiring hadirnya wujud sempurna bayangmu di setiap angan. Aku yang kini terpedaya rasa mengelola setiap jatah takdir dari galau yang kadang tak beralasan, dari sisa muhasabah yang sering meinggalkan jejak penyesalan. Memungut kepingan – kepingan laku diri yang terhempas di pelataran jiwa. Membingkai secuil asa dari rajutan niat yang sering merenggangkan jejaring yang mengfilter penyakit hati. Membidik rasa dalam kesempatan. YA memang , Aku yang kalah, aku yang kini terperdaya rasa… Aku! yang ternyata tak bisa melesat cepat membawa rasa ini, hingga syetan berhasil hinggap. “Ketika prasasti sering hadir di pelupuk mata Ketika derap langkahya menggetarkan jiwa"
Comments
Post a Comment