Redaksi sudah menagih tulisanku, berharap besok akan kukirim via telegram. Harusnya sekarang aku sedang membenahi tulisan yang sedang kuedit menjadi berhuruf Abjad kemudian mengatur marginnya menjadi masing-masing dua senti. Tapi sejak tadi sore aku merindukanmu. Berkali-kali kucek IG dan masuk ke profilemu melihat poto-potomu, sesekali membaca comend dari setiap comend yang ada di potomu. satu comend yang paling ku suka dari potomu "Gadisku...senyummu harapanku".
Ingin sekali ku DM dirimu di IG agar aku bisa bercakap-cakap denganmu, ah tapi itu terlalu berani. Mungkin kau takkan menyukainya lalu menertawakanku. Namun aku berpikir positif saja. Setelah aku urung chat DM, aku ingin telegram saja. Sudah kuketik kata salam, hallo, hai, met malam, tapi terus kuhapus lagi. Kupikir kau takkan sempat membalas chat ku karena kesibukanmu atau mungkin keenggananmu. Aku takut jika chat itu terbaca , kau malah justru menjadi terdakwa karena prasangka. Kuingin kau baik-baik saja. Ah kau, membuatku terbelenggu dalam rindu.
Sungguh rasa-rasanya ingin kubunuh saja dirimu agar tak nampak lagi. Tapi aku takut kau menghantuiku, ha ha aku ngelantur. Kau hidup saja sudah membuat diriku terus memikirkanmu. Aku terus mencari kabarmu dari siapa saja dan dari mana saja karena kutahu bertemu denganmu secara sengaja merupakan sesuatu yang langka. Jadi lebih baik kutahu kau baik-baik saja dan hatiku tenang daripada aku bertemu denganmu tapi setelah itu aku kesal
karena ku hanya diam tak berkutik di depan mu. Meski sudah kusiapkan puluhan pertanyaan lengkap dengan struktur 5W+1H-nya, tetap saja saat berhadapan denganmu aku bisu.
Aku masih bisa tersenyum melihat tingkahmu, dan ke anehanmu. Kau mudah tersenyum, nada suara manjamu yang lembut. Itulah kamu.
Engkau yang berjuluk wanita cantik penuh keanggunan, menawan hatiku di buai pesonamu. Hingga setiap lepas pandang yang melesat adalah detail indah dari sketsa hati dan Membawa rasa ini dalam setiap malam, untuk hati yang kini telah kehilangkan kesucianya seiring hadirnya wujud sempurna bayangmu di setiap angan. Aku yang kini terpedaya rasa mengelola setiap jatah takdir dari galau yang kadang tak beralasan, dari sisa muhasabah yang sering meinggalkan jejak penyesalan. Memungut kepingan – kepingan laku diri yang terhempas di pelataran jiwa. Membingkai secuil asa dari rajutan niat yang sering merenggangkan jejaring yang mengfilter penyakit hati. Membidik rasa dalam kesempatan. YA memang , Aku yang kalah, aku yang kini terperdaya rasa… Aku! yang ternyata tak bisa melesat cepat membawa rasa ini, hingga syetan berhasil hinggap. “Ketika prasasti sering hadir di pelupuk mata Ketika derap langkahya menggetarkan jiwa"
Comments
Post a Comment